Selasa, 11 Juli 2017

Air Asam Tambang

Air Asam Tambang
     Salah satu permasalahan lingkungan yang dihasilkan oleh industri pertambangan adalah air asam tambang. Air asam tambang merupakan hasil dari oksidasi batuan yang mengandung pirit (FeS2) dan mineral sulfide dari sisa batuan yang terpapar oleh oksigen yang berada dalam air (Elberling, 2008). Air asam tambang dalam bahasa Inggris disebut Acid mine drainage (AMD) merupakan oksidasi dari sisa mineral sulfidik, baik pada lahan di atas tanah maupun hasil aktivitas dalam bumi (underground).Kegiatan penambangan, yang kegiatan utamanya adalah penggalian, dapat mempercepat proses pembentukan air asam tambang karena mengakibatkan perpajannya mineral sulfida ke udara, air dan mikroorganisme (Gautama, 2012). Air asam tambang bisa terjadi pada tanah bekas tambang terbuka, tempat penimbunan tailing, tempat penimbunan batubara maupun pada kolam-kolam. Air asam tambang didefinisikan sebagai air drainage yang terjadi akibat dari oksidasi mineral-mineral sulfidik dalam batuan yang berreaksi dengan air dan atau udara (Durkin dan Herrmann, 1994; Groudev et.al., 2001). Pada batuan iron sulfide seperti pirit reaksi terjadinya air asam tambang dapat diringkas menjadi:
  →            FeS2 + 15/4 O2 + 7/2 H2O        Fe(OH)3 + 2SO4 + 4H  (Groudev et.al., 2001)
     Air menjadi merah jingga ketika Fe(OH)3 terbentuk, itu menjadi pertanda telah terjadi air asam tambang pada lingkungan sekitar pertambangan. Terlepasnya hidrogen pada reaksi oksidasi tersebut mengakibatkan pH air yang melalui batuan turun secara drastis. Setiap mol pirit akan menghasilkan empat mol penyebab kemasaman (Groudev et.al., 2001). Turunnya pH akibat air asam tambang meningkatkan kelarutan logam-logam berat (Hard dan Higgins, 2004) yang terkandung dalam batuan.Sehingga yang paling berbahaya akibat air asam tambang adalah tingginya akumulasi loga-logam berat dalam lingkungan perairan.

Oksidasi mineral sulfida dapat dideskripsikan dengan persamaan (Morin dan Hutt, 1997 dalam Siregar, 2013) dengan langkah pertama terjadinya oksidasi langsung dari pirit (FeS2) oleh oksigen yang menghasilkan sulfat (SO42-), ferrous iron (Fe2+) dan keasaman (H+):
            2FeS2 + 7O2 + 2H2O = 2Fe2+ + 4SO42- + 4H+                                   
            Reaksi selanjutnya ferrous iron teroksidasi menjadi ferric iron (Fe3+).
            2Fe2+ + ½ O2 + 2H+ = 2Fe3+ + H2O
            Ferrous iron juga dapat teroksidasi menghasilkan iron hidroksida (FeOOH) dan keasamaan.
            Fe2+ + 1/4O2 + 3/2H2O = FeOOH + 2H+
Pada saat pH > 4, Fe3+ akan terendapkan sebagai ferric hidroksida (Fe(OH)3), lepas ke lingkungan dengan sangat asam.
            Fe3+ + 3H2O = Fe(OH)3 + 3H+
Pada saat pH < 4, Ferric iron akan larut dan mengoksidasi pirit secara langsung dan melepas asam kesekelilingnya dengan bebas.
           FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O = 15Fe2+ + 2SO42- + 16H+
Secara keseluruhan reaksi oksidasi pirit dapat diperlihatkan sebagai berikut:
            FeS2 + 15/4O2 + 7/2H2O =Fe(OH)3 + 2H2SO4
     Oksidasi 1 mol pirit akan menghasilkan 2 mol asam sulfur. Secara umum pertimbangan literatur (Aubertin et. al., 2002 dalam Siregar 2013) bahwa oksidasi oleh oksigen (persamaan 1) berlangsung pada pH netral (5 < pH > 7), sementara itu oksidasi tidak langsung lebih dominan pada pH rendah (pH < 3). Persamaan diatas berdasarkan pada persamaan stoikiometri tanpa mempertimbangkan kondisi kinetik setiap reaksi. Seperti nilai rata-rata oksidasi sebagi fungsi faktor penambah (Jerz dan Rimstidt, 2004 dalam Siregar 2013), supply oksigen, temperatur, pH, aktivitas bakteri, luas paparan. Pertimbangan secara umum rata-rata reaksi dikontrol oleh (persamaan 2).Rata-rata rekasi berjalan lambat pada pH rendah, tetapi meningkat dengan cepat dan menurunkan pH karena adanya bakteri.
     Tanda-tanda terbentuknya air asam tambang pada suatu lingkungan ditandai satu atau lebih karakteristik kualitas air sebagai berikut:
  • nilai pH yang rendah
  • konsentrasi logam terlarut yang tinggi, seperti logam besi, alumunium, mangan, cadmium, tembaga, timbal, seng, arsenik dan mercury
  • nilai acidity yang tinggi (50 - 1500 mg/L CaCO3)
  • nilai sulphate yang tinggi (500 - 10000 mg/L)
  • nilai salinitas (1 - 20 mS/cm)
  • konsentrasi oksigen terlarut yang rendah

     Namun apabila air asam tambang sampai mengalir atau keluar dari tempat terbentuknya dan masuk ke sistem lingkungan umum (diluar tambang), maka beberapa faktor lingkungan dapat terpengaruhi, seperti; kualitas air dan peruntukannya (sebagai bahan baku air minum, sebagai habitat biota air, sebagai sumber air untuk tanaman, dan lain-lain); kualitas tanah dan peruntukkannya (sebagai habitat flora dan fauna darat). 
      Ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi terbentuknya air asam tambang di suatu tempat adalah:
  •  konsentrasi, distribusi, mineralogi dan bentuk fisik dari mineral sulphida
  • keberadaan oksigen, termasuk dalam hal ini adalah asupan dari atmosfir melalui mekanisme adveksi dan difusi
  •  jumlah dan komposisi kimia air yang ada
  • temperatur
  • mikrobiologi
      Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pembentukan air asam tambang sangat tergantung pada kondisi tempat pembentuknnya. Perbedaan salah satu faktor tersebut diatas menyebabkan proses pembentukan dan hasil yang berbeda.
      Terkait dengan faktor iklim di Indonesia, dengan temperatur dan curah hujan yang tinggi di beberapa lokasi dimana terdapat kegiatan penambangan, proses pembentukan air asam tambang memiliki karakteristik yang berbeda dengan negara-negara lain, karena memiliki kondisi iklim yang berbeda (Nugraha, 2010).


Pencegahan dan Pengolahan Air Asam Tambang
      Pada prinsipnya air asam tambang sangatlah merugikan lingkungan sekitarnya, namun dengan menerapkan beberapa hal masalah yang ditimbulkan dapat diatasi. Pada dasarnya yang utama adalah mencegah terbentuknya air asam tambang lebih baik dari pada mengolahnya (prevention is better than treatment) karena dapat diandalkan untuk jangka panjang dan meminimalkan resiko.
      Pencegahan pembentukan air asam tambang dapat dilakukan dengan mengurangi kontak antara mineral sulphida (dalam reaksi tersebut sebagai pyrite) dengan air dan oksigen diudara.Secara teknis, hal ini dilakukan dengan menempatkan batuan PAF pada kondisi dimana salah satu faktor tersebut relatif kecil jumlahnya. Ada dua cara untuk melakukan hal tersebut, yaitu dengan menempatkan batuan PAF dibawah permukaan air (dimana penetrasi oksigen terhadap lapisan air sangat rendah) atau dikenal dengan istilah wet cover systems, atau dibawah lapisan batuan/ material tertentu dengan tingkat infiltrasi air dan difusi/ adveksi oksigen yang rendah, umumnya disebut sebagai dry cover system.Dengan menerapkan metode ini, diharapkan pembentukan air asam tambang dapat dihindari (Nugraha, 2010).

Pengolahan air asam tambang diperlukan untuk memenuhi baku mutu lingkungan, karena walaupun telah dilakukan metode pencegahan dengan baik tetap saja masih ada air asam tambang yang terbentuk dan perlu diolah.
Pengolahan air asam tambang dapat digolongkan menjadi:

  • Pengolahan aktif (active treatment)
  • Pengolahan pasif (passive treatment)
  • Pengolahan ditempat (in situ treatment) (Gautama, 2012).
     Pengolahan yang umum digunakan adalah dengan metode mengolah debit air asam tambang dengan pengolahan aktif dimana pengolahan menggunakan kimia penetral yang ditambahkan terus menerus ke air asam tambang (Johnson dan Hallberg, 2005 dalam Siregar, 2013). Proses penetralan air asam tambang ini akan mengendapkan logam-logam terlarut dan akan membentuk selimut lumpur (sludge blanket). Kelemahan dari pengolahan aktif ini adalah memerlukan biaya yang besar dan memindahkan atau membuang selimut lumpur yang mengandung logam.
      Pengolahan pasif memiliki kelebihan dibandingkan dengan pengolahan aktif terutama dari segi perawatan dan biaya yang sedikit lebih rendah.Sistem pengolahan pasif hanya memerlukan perawatan dan penggantian secara periodik (Siregar, 2013). Pengolahan pasif adalah suatu sistem pengolahan air yang memanfaatkan sumber energi yang tersedia secara alami seperti gradien topografi, energi metabolisme mikroba, fotosintesis dan energi kimia dan membutuhkan perawatan secara reguler tetapi jarang untuk beroperasi sepanjang umur rancangannya (Pulles et.al., 2004, Gautama, 2012). Suatu proses secara bertahap menghilangkan logam dan/ atau keasaman dalam suatu biosistem seperti alami tetapi buatan manusia yang mendukung reaksi ekologi dan geokimia. Proses tersebut tidak memerlukan tenaga atau bahan kimia setelah konstruksi dan akan berumur puluhan tahun dengan bantuan manusia secara minimum (Gusek, 2002 dalam Gautama, 2012).
Ada beberapa metode yang telah diterapkan di beberapa tempat maupun perusahaan tambang yang ada. Metode Elektrolisa dan Metode SAPS (Successive Alkalinity Producing System) adalah beberapa metode yang telah maupun sedang dikembangkan dibeberapa tempat tambang atau perusahaan tambang.

Water Management
      Proses penambangan dengan metode tambang terbuka akan memberikan dampak perubahan topografi di lokasi penambangan akibat adanya proses penggalian dan penimbunan. Hal ini tentu akan mempengaruhi kondisi hidrologi melalui perubahan catchment area. Pola aliran air permukaan akan mengalami perubahan yang akan mempengaruhi debit aliran pada sungai di catchment tersebut. Selain itu, terdapatnya material sulfida pada daerah timbunan akan berpotensi terhadap pembentukan air asam tambang yang akan berdampak pada kualitas aliran sungai (Abfertiawan, 2011).
      Oleh karena itu, water management menjadi bagian yang penting dalam upaya pencegahan terhadap pembentukan air asam tambang. Prinsip dari water management ini adalah bagaimana mengendalikan air dengan memisahkan air yang tercemar (air asam tambang) terhadap air yang masih berkualitas baik. Selain dari mengurangi beban pengolahan dari aliran air yang tercemar, upaya ini dapat mengisolasi daerah yang terganggu dengan daerah yang tidak terganggu.
Contoh Konsep penanganan air dari area penambangan aktif di salah satu pertambangan
          Daerah penambangan aktif merupakan salah satu sumber pembentukan air asam tambang yang tidak dapat dihindari. Sehingga metode penanganan pada daerah aktif ini adalah melakukan pengolahan terhadap air asam tambang yang terbentuk (active treatment). Material sulfida yang berasal dari dinding pit penambangan akan kontak dengan air pada saat hujan terjadi, mengalir menuju sump pit untuk kemudian dipompa menuju ke sistem pengolahan. Pada umumnya, metode pengolahan aktif yang digunakan yakni melalui penambahan senyawa penetral kapur untuk menetralkan pH. Selain itu, terdapat pula kolam pengendap sebelum keluar ke badan air penerima. Pengendalian  melalui sistem pengolahan aktif diharapkan dapat menjaga kualitas aliran yang berasal dari daerah terganggu sebelum masuk ke dalam badan sungai utama sehingga dapat sesuai dengan baku mutu yang telah ditetapkan (Abfertiawan, 2011).

Pelapisan dan Penutupan
          Pelapisan dan penutupan adalah salah satu metode pencegahan yang bertujuan untuk mencegah masuknya air ke dalam timbunan. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai pelapis atau penutup adalah material liat atau bahan sintetik.

a.       Material Liat
Jenis material liat yang efektif sebagai pelapis adalah bentinit, karena material ini memiliki sifat mengembang dan melapisi/menutup. Akan tetapi bentonit mempunyai kecenderungan retak pada musim kemarau. Pelapis liat ditempatkan pada material sulfida kemudian dipadatkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah terjadinya infiltrasi air ke dalam timbunan. Oleh karena itu pemadatannya harus benar-benar diperhatikan dan rata, agar tidak terjadi pengumpulan air pada suatu tempat. Upaya stabilitas lapisan lapisan pada timbunan dari erosi dan longsor dilakukan dengan memperhatikan kemungkinan penetrasi akar tanaman yang ditanam.
b.      Bahan Sintetik
Dengan bahan sintetik harga dan biaya pemasangannya mahal serta rentan terhadap pelapukan kimia. Pada umumnya digunakan untuk pelapisan kegiatan tambang dalam (underground). Keuntungan dari bahan sintetik ini adalah dapat mencegah terjadinya infiltrasi (impermeable). Bahan sintetik yang biasa digunakan adalah aspal, tar, semen, plastik film dan geotekstil.

Kandungan Oksigen
       Pemakaian nitrogen, metana atau karbon sebagai gas penyelimut dapat mengurangi terjadinya air asam tambang, tetapi air asam tambang masih dapat terjadi akibat adanya oksigen terlarut dalam air. Penempatan material tanah di atas material sulfida tidak seluruhnya dapat mencegah difusi oksigen. Akan tetapi tingkat ketebalan dan kepadatan permukaan secara efektif dapat mengurangi jumlah dan laju masuknya oksigen. Pelapisan material sulfida denagn lapisan pengkonsumsi oksigen (tanah pucuk yang mengandung mikro organisme yang aktif) merupakan strategi yang baik untuk mengurangi kandungan oksigen.
Ada tiga langkah untuk mengurangi oksigen dalam timbunan tanah adalah:
1)    Material timbunan harus dikubur dan dilapisi dengan tanah pucuk sesegaera mungkin.
2)  Material timbunan harus dipadatkan selama konstruksinya, terutama pada saat penempatan material sulfida.
3)   Pemadatan pada permukaan dan lereng bagian luar adalah sangat penting dalam mengurangi oksigen dan konveksi udara ke dalam timbunan. Bakterisida.
      Surfaktan anion, asam organik alam pengawet makanan sudah umum digunakan sebagai senyawa anti bakterial. Surfaktan bekerja dengan pelepasan ion hidrogen ke dalam membran sel bakteri sehingga menyebabkan kerusakan sel dan matinya bakteri. Salah satu jenis surfaktan sodium laurit sulfat (SLS) mampu mengurangi terbentuknya air asam tambang  60 % - 90 % dalam percobaan lapangan pada timbunan batubara buangan (coal refusi). Kebanyakan dari surfaktan anionik bersifat sangat mudah larut.

Bahan Organik
    Salah satu pemicu terjadinya air asam tambang adalah pengoksidasi sulfur (BOS), seperti Thiobacillus spp dan Leptospirillum spp. BOS merupakan biokatalisator air asam tambang yang sangat potensila namun merugikan bagi lingkungan. Ketika air asam tambang di pascu oleh BOS maka kecepatan pengasaman laha dipercepat 500.000 - 1.000.000 kali lipat dibandingkan dengan reaksi secara geokimia (Mills, dalam Widyati et.al., 2011).
Sifat-sifat BOS antara lain hidup pada pH masam (acidophilic), menggunakan sumber karbon non organik (lithotroph) dan memerlukan oksigen sebagai aseptor elektron (aerobic) (Alexander, dalam Widyati et.al., 2011). Kondisi lingkungan yang berlawanan dengan yang dibutuhkan akan dapat membunuh mikroba tersebut. Sehingga untuk mengendalikan pertumbuhan BOS dapat dilakukan dengan peningkatan pH, penggenangan atau penambahan bahan organik ke dalam tanah.
      Isolat T. ferroxidans yang diisolasi dari air asam tambang dari galian pertambangan dibiakkan pada Medium Starkey. Ke dalam medium ditambahkan bahan organik berupa 10% ekstrak, 10% ekstrak industri kertas dan medium tanpa perlakuan sebagai kontrol. Selanjutnya dimasukkan 1 ml T. ferroxidans top soil sludge biakan ke dalam masing-masing perlakuan kemudian diinkubasi pada suhu kamar di atas inkubator shaker.
Pada tanah yang telah disterilkan dengan bahan organik penambahan sulfat jauh lebih lambat apabila dibandingkan dengan tanah yang tidak disterilkan. BOS dapat dikendalikan melalui penambahan bahan organik ke dalam lingkungan, penambahan ekstrak sludge dapat membunuh populasi BOS. Penambahan ekstrak top soil juga dapat membunuh kelompok mikroba ini. Penambahan bahan organik dapat membunuh BOS karena mereka tidak dapat menggunakan sumber C dari bahan dari bahan organik untuk menyusun sel tubuhnya.
     Selain mengendalikan populasi BOS, bahan organik juga dapat memperbaiki sifat-sifat kimia tanah bekas tambang. Aplikasi top soil dan sludge dapat meningkatkan pH, menurunkan akumulasi sulfat dan meningkatkan KTK tanah yang sangat penting pada kegiatan revegetasi.
Menurunnya kandungan sulfat karena penambahan bahan organik terjadi karena sulfat terreduksi menjadi sulfida. Pada kondisi anaerob maka bahan organik dapat berperan sebagi donor elektron (Groudev et.al., dalam Widyati, 2011). Ketika sulfat menerima elektron dari bahan organik maka akan mengalami reduksi membentuk senyawa sulfida seperti yang digambarkan dalam persamaan reaksi (Foth, dalam Widyati et.al., 2011):
       Dibandingkan dengan standar sifat kimia tanah untuk tanah pertanian yang dibakukan oleh Pusat Penelitian Tanah (1983) perlakuan sterilisasi sludge memberikan hasil yang berbeda nyata, sedangkan perlakuan strelisasi tanah tidak memberikan hasil yang berbeda nyata.
Variabel pH dan KTK merupakan sifat tanah yang penting untuk melakukan revegetasi, pH dan KTK menetukan ketersediaan dan keseimbangan unsur hara yang sangat penting untuk pertumbuhan bibit di lapangan. Sehingga perbaikan kedua variabel ini akan membantu meningkatkan keberhasilan revegatsi pada lahan tersebut.
       Bahan organik dapat digunakan untuk mengendalikan populasi BOS sehingga dapat menghambat laju terjadinya AMD pada lahan bekas tambang. Penambahan bahan organik juga dapat memperbaiki sifat-sifat kimia tanah, yaitu dapat menurunkan akumulasi sulfat, meningkatkan pH dan KTK tanah bekas tambang (Widyati et.al., 2011).

Penutup
    Air asam tambang adalah hasil dari kegiatan pertambangan yang berdampak merugikan bagi lingkungan dan dapat terjadi dalam jangka waktu panjang bila sudah terbentuk.Maka dari itu diperlukan perhatian yang lebih dari semua pihak yang terlibat dalam kegiatan pertambangan.
Untuk menangani masalah air asam tambang diperlukan perencanaan yang baik dan terintegrasi dari sejak masa eksplorasi dan masa beroperasi kegiatan pertambangan sampai pada masa pasca tambang. Namun yang paling utama adalah melakukan pencegahan terbentuknya air asam tambang merupakan solusi yang terbaik, dari segi biaya lebih efisien dan lebih efektif dibandingkan dengan kita akan mengolah air asam tambang.Karena dengan pengolahan tentunya kita memerlukan biaya maupun waktu untuk menghasilkan pengelolaan yang baik dengan resiko yang semakin kecil.


Daftar Pustaka

Gautama, R.S. 2012.Pengelolaan Air Asam Tambang.Fakultas Teknik Pertambangan & Perminyakan ITB. Bandung. pdf [http://ilmulingkunganuns.files.wordpress.com/
              2012/09/3-air-asam-tambang-prof-rudy-sayoga.pdf].

Nugraha, C. 2010. Apa itu Air Asam Tambang. internet [http://airasamtambang.info/].

Putra, M.S. 2012. Teknologi Pengolahan Air Asam Tambang dengan Metoda Elektrolisa. Jurusan Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya. internet [http://lianitaintansari.
              blogspot.com/2012/01/teknologi-pengolahan-air-asam-tambang.html]. 

Siregar, F.A. 2013. Studi Penyerapan Logam Besi (Fe) dan Sulfat dari Limbah Industri Pertambangan dengan Adsorden Kulit Ubi Kayu dan Spent Mushroom Substrat (SMS). Pasca Sarjana Universitas Sumetera Utara. Medan. pdf [http://repository.usu.
              ac.id/bitstream/123456789/35569/3/Chapter%20II.pdf].

Widyati, E dan Hazra, F. 2011. Pencegahan Acid Mine Drainage Melalui Pengendalian Populasi Thiobacillus spp dengan Bahan Organik Tanah. Tekno Hutan Tanaman Vol.4 No.3.pdf [http://forda-mof.org/files/PENCEGAHAN_Acid_Mine_Drainage_
            MELALUI_PENGENDALIAN_POPULASI.pdf].

*Tulisan ini adalah sebagian tugas kelompok mata kuliah Restorasi sewaktu S2 kemarin yang disusun oleh Saya sendiri Devitha Kalitouw,Mami Librianna Arsahanti dan Virla Lestari.Tulisan ini membahas mengenai dampak air asam tambang dan cara penanggulangannya dengan melakukan beberapa metode alami,Kenapa di share yah kalo ilmu hanya disimpan sendiri dalam memory laptop rasanya kurang bermanfaat.mungkin saja, saat ini para pembaca membutuhkan sedikit informasi mengenai air asam tambang secara umum,Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi saudara-saudara sekalian.

Salam

Devitha windy kalitouw SHut.Msi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Devitha W. Kalitouw: Air Asam Tambang

Devitha W. Kalitouw: Air Asam Tambang : Air Asam Tambang      Salah satu permasalahan lingkungan yang dihasilkan oleh industri pertambanga...