Air Asam Tambang
Salah
satu permasalahan lingkungan yang dihasilkan oleh industri pertambangan adalah
air asam tambang. Air asam tambang merupakan hasil dari oksidasi batuan yang
mengandung pirit (FeS2) dan mineral sulfide dari sisa batuan yang
terpapar oleh oksigen yang berada dalam air (Elberling, 2008). Air asam tambang
dalam bahasa Inggris disebut Acid mine drainage (AMD) merupakan oksidasi dari
sisa mineral sulfidik, baik pada lahan di atas tanah maupun hasil aktivitas
dalam bumi (underground).Kegiatan
penambangan, yang kegiatan utamanya adalah penggalian, dapat mempercepat proses
pembentukan air asam tambang karena mengakibatkan perpajannya mineral sulfida
ke udara, air dan mikroorganisme (Gautama, 2012). Air asam tambang bisa terjadi
pada tanah bekas tambang terbuka, tempat penimbunan tailing, tempat penimbunan batubara maupun pada kolam-kolam. Air
asam tambang didefinisikan sebagai air drainage yang terjadi akibat dari
oksidasi mineral-mineral sulfidik dalam batuan yang berreaksi dengan air dan
atau udara (Durkin dan Herrmann, 1994; Groudev et.al., 2001). Pada batuan iron
sulfide seperti pirit reaksi terjadinya air asam tambang dapat diringkas
menjadi:
→ FeS2 + 15/4 O2 + 7/2
H2O Fe(OH)3
+ 2SO4 + 4H (Groudev et.al., 2001)
Air
menjadi merah jingga ketika Fe(OH)3 terbentuk, itu menjadi pertanda
telah terjadi air asam tambang pada lingkungan sekitar pertambangan.
Terlepasnya hidrogen pada reaksi oksidasi tersebut mengakibatkan pH air yang
melalui batuan turun secara drastis. Setiap mol pirit akan menghasilkan empat
mol penyebab kemasaman (Groudev et.al.,
2001). Turunnya pH akibat air asam tambang meningkatkan kelarutan logam-logam
berat (Hard dan Higgins, 2004) yang terkandung dalam batuan.Sehingga yang
paling berbahaya akibat air asam tambang adalah tingginya akumulasi loga-logam
berat dalam lingkungan perairan.
Oksidasi mineral
sulfida dapat dideskripsikan dengan persamaan (Morin dan Hutt, 1997 dalam
Siregar, 2013) dengan langkah pertama terjadinya oksidasi langsung dari pirit
(FeS2) oleh oksigen yang menghasilkan sulfat (SO42-),
ferrous iron (Fe2+) dan keasaman (H+):
2FeS2 + 7O2 + 2H2O = 2Fe2+ + 4SO42-
+ 4H+
Reaksi
selanjutnya ferrous iron teroksidasi menjadi ferric iron (Fe3+).
2Fe2+
+ ½ O2 + 2H+ = 2Fe3+ + H2O
Ferrous
iron juga dapat teroksidasi menghasilkan iron hidroksida (FeOOH) dan keasamaan.
Fe2+
+ 1/4O2 + 3/2H2O = FeOOH + 2H+
Pada saat pH > 4, Fe3+
akan terendapkan sebagai ferric hidroksida (Fe(OH)3), lepas ke
lingkungan dengan sangat asam.
Fe3+
+ 3H2O = Fe(OH)3 + 3H+
Pada saat pH < 4, Ferric
iron akan larut dan mengoksidasi pirit secara langsung dan melepas asam
kesekelilingnya dengan bebas.
FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O
= 15Fe2+ + 2SO42- + 16H+
Secara keseluruhan reaksi oksidasi pirit
dapat diperlihatkan sebagai berikut:
FeS2
+ 15/4O2 + 7/2H2O =Fe(OH)3 + 2H2SO4
Oksidasi 1 mol pirit akan
menghasilkan 2 mol asam sulfur. Secara umum pertimbangan literatur (Aubertin
et. al., 2002 dalam Siregar 2013) bahwa oksidasi oleh oksigen (persamaan 1)
berlangsung pada pH netral (5 < pH > 7), sementara itu oksidasi tidak
langsung lebih dominan pada pH rendah (pH < 3). Persamaan diatas berdasarkan
pada persamaan stoikiometri tanpa mempertimbangkan kondisi kinetik setiap
reaksi. Seperti nilai rata-rata oksidasi sebagi fungsi faktor penambah (Jerz
dan Rimstidt, 2004 dalam Siregar 2013), supply oksigen, temperatur, pH,
aktivitas bakteri, luas paparan. Pertimbangan secara umum rata-rata reaksi
dikontrol oleh (persamaan 2).Rata-rata rekasi berjalan lambat pada pH rendah,
tetapi meningkat dengan cepat dan menurunkan pH karena adanya bakteri.
Tanda-tanda
terbentuknya air asam tambang pada suatu lingkungan ditandai satu atau lebih
karakteristik kualitas air sebagai berikut:
- nilai pH yang rendah
- konsentrasi logam terlarut yang tinggi, seperti logam besi, alumunium, mangan, cadmium, tembaga, timbal, seng, arsenik dan mercury
- nilai acidity yang tinggi (50 - 1500 mg/L CaCO3)
- nilai sulphate yang tinggi (500 - 10000 mg/L)
- nilai salinitas (1 - 20 mS/cm)
- konsentrasi oksigen terlarut yang rendah
Namun apabila air asam tambang sampai mengalir atau
keluar dari tempat terbentuknya dan masuk ke sistem lingkungan umum (diluar
tambang), maka beberapa faktor lingkungan dapat terpengaruhi, seperti; kualitas
air dan peruntukannya (sebagai bahan baku air minum, sebagai habitat biota air,
sebagai sumber air untuk tanaman, dan lain-lain); kualitas tanah dan
peruntukkannya (sebagai habitat flora dan fauna darat).
Ada beberapa faktor penting yang
mempengaruhi terbentuknya air asam tambang di suatu tempat adalah:
- konsentrasi, distribusi, mineralogi dan bentuk fisik dari mineral sulphida
- keberadaan oksigen, termasuk dalam hal ini adalah asupan dari atmosfir melalui mekanisme adveksi dan difusi
- jumlah dan komposisi kimia air yang ada
- temperatur
- mikrobiologi
Dengan memperhatikan
faktor-faktor tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pembentukan air asam tambang
sangat tergantung pada kondisi tempat pembentuknnya. Perbedaan salah satu
faktor tersebut diatas menyebabkan proses pembentukan dan hasil yang berbeda.
Terkait dengan faktor iklim
di Indonesia, dengan temperatur dan curah hujan yang tinggi di beberapa lokasi
dimana terdapat kegiatan penambangan, proses pembentukan air asam tambang
memiliki karakteristik yang berbeda dengan negara-negara lain, karena memiliki
kondisi iklim yang berbeda (Nugraha, 2010).
Pencegahan dan Pengolahan Air Asam Tambang
Pada prinsipnya air asam tambang sangatlah merugikan
lingkungan sekitarnya, namun dengan menerapkan beberapa hal masalah yang
ditimbulkan dapat diatasi. Pada dasarnya yang utama adalah mencegah
terbentuknya air asam tambang lebih baik dari pada mengolahnya (prevention is better than treatment)
karena dapat diandalkan untuk jangka panjang dan meminimalkan resiko.
Pencegahan pembentukan air
asam tambang dapat dilakukan dengan mengurangi kontak antara mineral sulphida
(dalam reaksi tersebut sebagai pyrite) dengan air dan oksigen diudara.Secara teknis,
hal ini dilakukan dengan menempatkan batuan PAF pada kondisi dimana salah satu
faktor tersebut relatif kecil jumlahnya. Ada dua cara untuk melakukan hal
tersebut, yaitu dengan menempatkan batuan PAF dibawah permukaan air (dimana
penetrasi oksigen terhadap lapisan air sangat rendah) atau dikenal dengan
istilah wet cover systems, atau
dibawah lapisan batuan/ material tertentu dengan tingkat infiltrasi air dan
difusi/ adveksi oksigen yang rendah, umumnya disebut sebagai dry cover system.Dengan menerapkan
metode ini, diharapkan pembentukan air asam tambang dapat dihindari (Nugraha,
2010).
Pengolahan
air asam tambang diperlukan untuk memenuhi baku mutu lingkungan, karena
walaupun telah dilakukan metode pencegahan dengan baik tetap saja masih ada air
asam tambang yang terbentuk dan perlu diolah.
Pengolahan
air asam tambang dapat digolongkan menjadi:
- Pengolahan aktif (active treatment)
- Pengolahan pasif (passive treatment)
- Pengolahan ditempat (in situ treatment) (Gautama, 2012).
Pengolahan yang umum digunakan adalah dengan metode
mengolah debit air asam tambang dengan pengolahan aktif dimana pengolahan
menggunakan kimia penetral yang ditambahkan terus menerus ke air asam tambang
(Johnson dan Hallberg, 2005 dalam Siregar, 2013). Proses penetralan air asam
tambang ini akan mengendapkan logam-logam terlarut dan akan membentuk selimut
lumpur (sludge blanket). Kelemahan
dari pengolahan aktif ini adalah memerlukan biaya yang besar dan memindahkan
atau membuang selimut lumpur yang mengandung logam.
Pengolahan pasif memiliki kelebihan dibandingkan dengan
pengolahan aktif terutama dari segi perawatan dan biaya yang sedikit lebih
rendah.Sistem pengolahan pasif hanya memerlukan perawatan dan penggantian
secara periodik (Siregar, 2013). Pengolahan pasif adalah suatu sistem
pengolahan air yang memanfaatkan sumber energi yang tersedia secara alami
seperti gradien topografi, energi metabolisme mikroba, fotosintesis dan energi
kimia dan membutuhkan perawatan secara reguler tetapi jarang untuk beroperasi
sepanjang umur rancangannya (Pulles et.al.,
2004, Gautama, 2012). Suatu proses secara bertahap menghilangkan logam dan/
atau keasaman dalam suatu biosistem seperti alami tetapi buatan manusia yang
mendukung reaksi ekologi dan geokimia. Proses tersebut tidak memerlukan tenaga
atau bahan kimia setelah konstruksi dan akan berumur puluhan tahun dengan
bantuan manusia secara minimum (Gusek, 2002 dalam Gautama, 2012).
Ada beberapa metode yang
telah diterapkan di beberapa tempat maupun perusahaan tambang yang ada. Metode
Elektrolisa dan Metode SAPS (Successive
Alkalinity Producing System) adalah beberapa metode yang telah maupun
sedang dikembangkan dibeberapa tempat tambang atau perusahaan tambang.
Water Management
Proses penambangan dengan metode tambang terbuka akan
memberikan dampak perubahan topografi di lokasi penambangan akibat adanya
proses penggalian dan penimbunan. Hal ini tentu akan mempengaruhi kondisi
hidrologi melalui perubahan catchment area. Pola aliran air permukaan akan
mengalami perubahan yang akan mempengaruhi debit aliran pada sungai di
catchment tersebut. Selain itu, terdapatnya material sulfida pada daerah
timbunan akan berpotensi terhadap pembentukan air asam tambang yang akan
berdampak pada kualitas aliran sungai (Abfertiawan, 2011).
Oleh karena itu, water management menjadi bagian yang
penting dalam upaya pencegahan terhadap pembentukan air asam tambang. Prinsip
dari water management ini adalah bagaimana mengendalikan air dengan memisahkan
air yang tercemar (air asam tambang) terhadap air yang masih berkualitas baik.
Selain dari mengurangi beban pengolahan dari aliran air yang tercemar, upaya
ini dapat mengisolasi daerah yang terganggu dengan daerah yang tidak terganggu.
Contoh Konsep penanganan air dari area
penambangan aktif di salah satu pertambangan
Daerah penambangan aktif merupakan salah satu sumber
pembentukan air asam tambang yang tidak dapat dihindari. Sehingga metode
penanganan pada daerah aktif ini adalah melakukan pengolahan terhadap air asam
tambang yang terbentuk (active treatment). Material sulfida yang berasal dari
dinding pit penambangan akan kontak dengan air pada saat hujan terjadi,
mengalir menuju sump pit untuk kemudian dipompa menuju ke sistem pengolahan. Pada
umumnya, metode pengolahan aktif yang digunakan yakni melalui penambahan
senyawa penetral kapur untuk menetralkan pH. Selain itu, terdapat pula kolam
pengendap sebelum keluar ke badan air penerima. Pengendalian melalui sistem pengolahan aktif diharapkan
dapat menjaga kualitas aliran yang berasal dari daerah terganggu sebelum masuk
ke dalam badan sungai utama sehingga dapat sesuai dengan baku mutu yang telah
ditetapkan (Abfertiawan, 2011).
Pelapisan dan Penutupan
Pelapisan dan penutupan adalah salah satu metode pencegahan
yang bertujuan untuk mencegah masuknya air ke dalam timbunan. Bahan-bahan yang
dapat digunakan sebagai pelapis atau penutup adalah material liat atau bahan
sintetik.
a.
Material
Liat
Jenis material liat yang
efektif sebagai pelapis adalah bentinit, karena material ini memiliki sifat
mengembang dan melapisi/menutup. Akan tetapi bentonit mempunyai kecenderungan
retak pada musim kemarau. Pelapis liat ditempatkan pada material sulfida
kemudian dipadatkan. Hal yang perlu diperhatikan adalah terjadinya infiltrasi
air ke dalam timbunan. Oleh karena itu pemadatannya harus benar-benar
diperhatikan dan rata, agar tidak terjadi pengumpulan air pada suatu tempat.
Upaya stabilitas lapisan lapisan pada timbunan dari erosi dan longsor dilakukan
dengan memperhatikan kemungkinan penetrasi akar tanaman yang ditanam.
b. Bahan
Sintetik
Dengan bahan sintetik harga
dan biaya pemasangannya mahal serta rentan terhadap pelapukan kimia. Pada
umumnya digunakan untuk pelapisan kegiatan tambang dalam (underground).
Keuntungan dari bahan sintetik ini adalah dapat mencegah terjadinya infiltrasi
(impermeable). Bahan sintetik yang biasa digunakan adalah aspal, tar, semen,
plastik film dan geotekstil.
Kandungan Oksigen
Pemakaian nitrogen, metana atau
karbon sebagai gas penyelimut dapat mengurangi terjadinya air asam tambang,
tetapi air asam tambang masih dapat terjadi akibat adanya oksigen terlarut
dalam air. Penempatan material tanah di atas material sulfida tidak seluruhnya
dapat mencegah difusi oksigen. Akan tetapi tingkat ketebalan dan kepadatan
permukaan secara efektif dapat mengurangi jumlah dan laju masuknya oksigen. Pelapisan
material sulfida denagn lapisan pengkonsumsi oksigen (tanah pucuk yang
mengandung mikro organisme yang aktif) merupakan strategi yang baik untuk
mengurangi kandungan oksigen.
Ada
tiga langkah untuk mengurangi oksigen dalam timbunan tanah adalah:
1) Material
timbunan harus dikubur dan dilapisi dengan tanah pucuk sesegaera mungkin.
2) Material
timbunan harus dipadatkan selama konstruksinya, terutama pada saat penempatan material
sulfida.
3) Pemadatan
pada permukaan dan lereng bagian luar adalah sangat penting dalam mengurangi
oksigen dan konveksi udara ke dalam timbunan. Bakterisida.
Surfaktan anion, asam organik alam pengawet makanan sudah
umum digunakan sebagai senyawa anti bakterial. Surfaktan bekerja dengan
pelepasan ion hidrogen ke dalam membran sel bakteri sehingga menyebabkan
kerusakan sel dan matinya bakteri. Salah satu jenis surfaktan sodium laurit
sulfat (SLS) mampu mengurangi terbentuknya air asam tambang 60 % - 90 % dalam percobaan lapangan pada
timbunan batubara buangan (coal refusi). Kebanyakan dari surfaktan anionik
bersifat sangat mudah larut.
Bahan Organik
Salah satu pemicu terjadinya air
asam tambang adalah pengoksidasi sulfur (BOS), seperti Thiobacillus spp dan Leptospirillum
spp. BOS merupakan biokatalisator air asam tambang yang sangat potensila namun
merugikan bagi lingkungan. Ketika air asam tambang di pascu oleh BOS maka
kecepatan pengasaman laha dipercepat 500.000 - 1.000.000 kali lipat dibandingkan
dengan reaksi secara geokimia (Mills, dalam Widyati et.al., 2011).
Sifat-sifat BOS antara lain
hidup pada pH masam (acidophilic), menggunakan sumber karbon non organik
(lithotroph) dan memerlukan oksigen sebagai aseptor elektron (aerobic)
(Alexander, dalam Widyati et.al., 2011). Kondisi lingkungan yang berlawanan
dengan yang dibutuhkan akan dapat membunuh mikroba tersebut. Sehingga untuk
mengendalikan pertumbuhan BOS dapat dilakukan dengan peningkatan pH, penggenangan
atau penambahan bahan organik ke dalam tanah.
Isolat T.
ferroxidans yang diisolasi dari air asam tambang dari galian pertambangan
dibiakkan pada Medium Starkey. Ke dalam medium ditambahkan bahan organik berupa
10% ekstrak, 10% ekstrak industri kertas dan medium tanpa perlakuan sebagai
kontrol. Selanjutnya dimasukkan 1 ml T.
ferroxidans top soil sludge biakan ke dalam masing-masing perlakuan
kemudian diinkubasi pada suhu kamar di atas inkubator shaker.
Pada tanah yang telah
disterilkan dengan bahan organik penambahan sulfat jauh lebih lambat apabila
dibandingkan dengan tanah yang tidak disterilkan. BOS dapat dikendalikan
melalui penambahan bahan organik ke dalam lingkungan, penambahan ekstrak sludge dapat membunuh populasi BOS.
Penambahan ekstrak top soil juga
dapat membunuh kelompok mikroba ini. Penambahan bahan organik dapat membunuh
BOS karena mereka tidak dapat menggunakan sumber C dari bahan dari bahan
organik untuk menyusun sel tubuhnya.
Selain mengendalikan populasi BOS, bahan organik juga
dapat memperbaiki sifat-sifat kimia tanah bekas tambang. Aplikasi top soil dan sludge dapat meningkatkan pH, menurunkan akumulasi sulfat dan
meningkatkan KTK tanah yang sangat penting pada kegiatan revegetasi.
Menurunnya kandungan sulfat
karena penambahan bahan organik terjadi karena sulfat terreduksi menjadi
sulfida. Pada kondisi anaerob maka bahan organik dapat berperan sebagi donor
elektron (Groudev et.al., dalam Widyati, 2011). Ketika sulfat menerima elektron
dari bahan organik maka akan mengalami reduksi membentuk senyawa sulfida
seperti yang digambarkan dalam persamaan reaksi (Foth, dalam Widyati et.al.,
2011):
Dibandingkan dengan standar sifat kimia tanah untuk tanah
pertanian yang dibakukan oleh Pusat Penelitian Tanah (1983) perlakuan
sterilisasi sludge memberikan hasil
yang berbeda nyata, sedangkan perlakuan strelisasi tanah tidak memberikan hasil
yang berbeda nyata.
Variabel pH dan KTK
merupakan sifat tanah yang penting untuk melakukan revegetasi, pH dan KTK
menetukan ketersediaan dan keseimbangan unsur hara yang sangat penting untuk
pertumbuhan bibit di lapangan. Sehingga perbaikan kedua variabel ini akan membantu
meningkatkan keberhasilan revegatsi pada lahan tersebut.
Bahan organik dapat digunakan untuk mengendalikan
populasi BOS sehingga dapat menghambat laju terjadinya AMD pada lahan bekas
tambang. Penambahan bahan organik juga dapat memperbaiki sifat-sifat kimia
tanah, yaitu dapat menurunkan akumulasi sulfat, meningkatkan pH dan KTK tanah
bekas tambang (Widyati et.al., 2011).
Penutup
Air asam tambang adalah hasil dari
kegiatan pertambangan yang berdampak merugikan bagi lingkungan dan dapat terjadi
dalam jangka waktu panjang bila sudah terbentuk.Maka dari itu diperlukan
perhatian yang lebih dari semua pihak yang terlibat dalam kegiatan
pertambangan.
Untuk menangani masalah air
asam tambang diperlukan perencanaan yang baik dan terintegrasi dari sejak masa
eksplorasi dan masa beroperasi kegiatan pertambangan sampai pada masa pasca
tambang. Namun yang paling utama adalah melakukan pencegahan terbentuknya air
asam tambang merupakan solusi yang terbaik, dari segi biaya lebih efisien dan
lebih efektif dibandingkan dengan kita akan mengolah air asam tambang.Karena
dengan pengolahan tentunya kita memerlukan biaya maupun waktu untuk
menghasilkan pengelolaan yang baik dengan resiko yang semakin kecil.
Daftar Pustaka
Gautama,
R.S. 2012.Pengelolaan Air Asam Tambang.Fakultas Teknik Pertambangan & Perminyakan ITB. Bandung. pdf
[http://ilmulingkunganuns.files.wordpress.com/
2012/09/3-air-asam-tambang-prof-rudy-sayoga.pdf].
Nugraha,
C. 2010. Apa itu Air Asam Tambang.
internet [http://airasamtambang.info/].
Putra,
M.S. 2012. Teknologi Pengolahan Air Asam
Tambang dengan Metoda Elektrolisa. Jurusan Teknik Pertambangan Universitas
Sriwijaya. internet [http://lianitaintansari.
blogspot.com/2012/01/teknologi-pengolahan-air-asam-tambang.html].
Siregar,
F.A. 2013. Studi Penyerapan Logam Besi
(Fe) dan Sulfat dari Limbah Industri Pertambangan dengan Adsorden Kulit Ubi
Kayu dan Spent Mushroom Substrat (SMS). Pasca Sarjana Universitas Sumetera
Utara. Medan. pdf [http://repository.usu.
ac.id/bitstream/123456789/35569/3/Chapter%20II.pdf].
Widyati,
E dan Hazra, F. 2011. Pencegahan Acid
Mine Drainage Melalui Pengendalian Populasi Thiobacillus spp dengan Bahan
Organik Tanah. Tekno Hutan Tanaman Vol.4 No.3.pdf [http://forda-mof.org/files/PENCEGAHAN_Acid_Mine_Drainage_
MELALUI_PENGENDALIAN_POPULASI.pdf].
*Tulisan ini adalah sebagian tugas kelompok mata kuliah Restorasi sewaktu S2 kemarin yang disusun oleh Saya sendiri Devitha Kalitouw,Mami Librianna Arsahanti dan Virla Lestari.Tulisan ini membahas mengenai dampak air asam tambang dan cara penanggulangannya dengan melakukan beberapa metode alami,Kenapa di share yah kalo ilmu hanya disimpan sendiri dalam memory laptop rasanya kurang bermanfaat.mungkin saja, saat ini para pembaca membutuhkan sedikit informasi mengenai air asam tambang secara umum,Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi saudara-saudara sekalian.
Salam
Devitha windy kalitouw SHut.Msi
*Tulisan ini adalah sebagian tugas kelompok mata kuliah Restorasi sewaktu S2 kemarin yang disusun oleh Saya sendiri Devitha Kalitouw,Mami Librianna Arsahanti dan Virla Lestari.Tulisan ini membahas mengenai dampak air asam tambang dan cara penanggulangannya dengan melakukan beberapa metode alami,Kenapa di share yah kalo ilmu hanya disimpan sendiri dalam memory laptop rasanya kurang bermanfaat.mungkin saja, saat ini para pembaca membutuhkan sedikit informasi mengenai air asam tambang secara umum,Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi saudara-saudara sekalian.
Salam
Devitha windy kalitouw SHut.Msi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar